Kisah Unik Dua Anak Indonesia dengan Predikat Indigo
Lihat Almarhum Opa Datang ke Pesta Ultah
Fenomena anak indigo makin banyak muncul di tengah masyarakat. Sayang, hingga saat ini belum banyak yang memberikan perhatian bagi pendidikan anak-anak berbakat yang diyakini memiliki indra keenam itu.
NAUFAL WIDI A.R., Jakarta
HARI itu, 8 Agustus 2004, Riska Milandari sedang mengadakan pesta kecil merayakan ulang tahun ke-36. Suasana bahagia melingkupi rumah keluarga di kawasan Pondok Jaya Raya, Mampang, Jakarta Selatan, itu. Namun, suasana sedikit berubah ketika Tasya, putrinya yang berusia 2,5 tahun, berujar bahwa sang opa (kakek Tasya) ikut datang dalam pesta.
"Kami kaget karena Opa sudah meninggal," kata Riska. Tetapi, Tasya bersikukuh bahwa opa ada dan sedang berdiri di ruang tamu. Agar tak mengecewakan si buah hati, Riska pun memenuhi keinginan putrinya untuk "seakan-akan" melihat sang kakek.
"Ya, sering-sering memang begitu. Tasya bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain," kata Riska.
Pengalaman melihat opa yang sebetulnya sudah meninggal itu hanya sedikit kisah di antara banyak "kelebihan" Descka Putri Anastasya -nama lengkap Tasya. Menurut Riska, Tasya mempunyai kemampuan unik yang disebut sebagai anak indigo.
Awalnya, dia tidak menduga bahwa Tasya termasuk indigo. Namun, setelah menceritakan kondisi putrinya dengan seorang guru besar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, barulah dia menyadari bahwa Tasya memiliki kemampuan khusus itu.
Sejak kecil, Tasya berbeda dengan balita seusianya. Saat usianya tiga bulan, dia sudah memegang botol susu sendiri. "Tasya menolak kalau dipegangin (botolnya)," kata Riska yang berprofesi sebagai konsultan psikologi sebuah perusahaan swasta itu. Memasuki usia lima bulan, giginya sudah tumbuh. "Usia delapan bulan sudah bisa ngomong," lanjutnya.
Selain itu, Tasya sering berbicara sendiri seolah-olah menghadapi lawan bicara. Dia berperilaku seperti itu ketika sedang berada di gudang atau belakang rumah. Yang menjadi lawan bicara kadang figur menyeramkan.
"Suatu kali, di belakang rumah, Tasya mengaku bertemu dengan orang yang wajahnya penuh darah," kata Riska.
Wanita asal Bandung itu yakin bahwa itu bukan khayalan sang anak. Sebab, bagi anak seusia Tasya, khayalan adalah sesuatu yang indah. "Peri atau putri, misalnya," jelasnya.
Chandra Rasyid, ayah Tasya, juga mengaku pernah mendapat pengalaman unik bersama anaknya yang diyakini mempunyai ciri khas indigo, yang mempunyai mata ketiga atau indra keenam. Waktu itu dia sedang mengendarai mobil di tol Cipularang. Saat melintasi perbukitan di jalan bebas hambatan itu, Tasya berteriak.
Menurut Chandra, Tasya mengaku melihat orang sedang duduk bertapa. Padahal, ketika itu tidak tampak apa pun selain pemandangan bukit dan jalan tol itu. Namun, ketika Chandra berusaha mencari tahu, di wilayah itu sering digunakan orang-orang yang sedang "berusaha" untuk meningkatkan "ilmu".
Tasya juga sering punya firasat yang kemudian menjadi kenyataan. Chandra mencontohkan, suatu ketika putrinya mengatakan bahwa oma sedang sakit dan mamanya diminta untuk menghubungi segera. "Benar saja. Saat ditelepon, ternyata Oma memang sedang sakit," tutur Chandra, yang bekerja sebagai anggota Badan SAR Nasional itu.
Perkataan-perkataan Tasya yang sering benar dimanfaatkan untuk memberikan prediksi. Misalnya, ketika keluarganya sedang menonton pertandingan bola di televisi. "Saya lupa waktu itu Jerman lawan siapa. Tapi, Tasya diminta untuk menendang bola dengan kaki kanan jika menang Jerman dan kaki kiri kalau yang menang lawannya. Dan, tebakan Tasya benar," cerita Riska.
Chandra maupun Riska mengakui, anaknya yang tanggal kelahirannya juga unik (2-2-2002) itu sering berpikir jauh lebih dewasa (old soul) -yang menjadi ciri khas anak indigo- dibandingkan dengan anak sebayanya. Ketika berusia tiga tahun, misalnya, Tasya sudah mampu menghibur hati mamanya. "Sudahlah, Ma, jangan dipikirin," kenang Riska.
Fenomena anak indigo juga ditemui pada keluarga Syahrudin, 31, dan Neneng Latifah, 26. Anak pertama mereka, Irvanda Dzulkarahman (Ipang), juga termasuk anak dengan kemampuan lebih.
Ipang, demikian dia disapa, juga sering berbicara sendiri dengan orang-orang yang menurut orang tuanya tidak tampak. Bahkan, lanjutnya, sang anak sering minta pintu dan jendela rumah selalu dibuka karena "teman-teman"-nya akan datang.
"Karena itu, kunci selalu saya letakkan di saku," kata Syahrudin yang warga Grogol, Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Depok, itu.
Seperti Tasya, Ipang juga berpikir layaknya orang dewasa. Tidak jarang dia menasihati kedua orang tuanya. Ibunya, misalnya, diminta harus selalu menutup aurat. "Kata Ipang, yang boleh kelihatan hanya tangan dan muka saja," tutur Neneng.
Karena kedewasaannya itu, Ipang enggan bermain dengan anak sebayanya. "Malas ah main sama anak kecil," kata Syahrudin menirukan ucapan putranya. Padahal, 8 Maret lalu, usianya baru genap enam tahun. Sebaliknya, dia malah bergaul dan dekat dengan orang-orang dewasa yang notabene adalah teman ayahnya.
Di sekolah, Ipang yang duduk di bangku TK itu cenderung tertutup. Meski demikian, dia justru cepat menerima pelajaran. Saking cepatnya menyerap pelajaran, dia sering komplain jemu menerima pelajaran anak kecil. Hasil tes IQ yang diikutinya menunjukkan dia memiliki IQ 129. Bahkan, di TPA tempatnya mengaji, Ipang menganggap guru yang ada tidak cukup untuk mengajarnya. "Akhirnya kita pakai guru privat," kata Syahrudin.
Ipang sering menebak sesuatu yang acap kali benar. Ketika diajak pergi ke tempat pamannya, misalnya, dia mengatakan bahwa jalan menuju ke sana berliku. "Memang berliku. Padahal, belum sekali pun dia ke sana," kata sang ayah.
Suatu kali Syahrudin dan Neneng berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Ketika hendak naik eskalator, Ipang menunjuk seorang pria yang berpakaian rapi. "Awas ayah, itu copet!" seru Ipang. Sontak kedua orang tuanya kaget dan mengingatkan anaknya untuk tidak menuduh orang sembarangan.
Namun, Ipang justru berontak, bahkan akan mengejar pria tadi. Akhirnya, Ipang pun digendong. Ternyata apa yang diserukan Ipang benar. Saat berdesak-desakan, pria itu telah menempel Syahrudin dan berusaha mengambil dompet dari saku celananya.
Pakar psikologi anak dari Universitas Indonesia (UI) Dr Tubagus Erwin mengakui, anak indigo memang berbeda dengan anak-anak sebayanya. Katanya, anak indigo memiliki moto berjiwa dewasa serta mampu membedakan dan menghargai perbedaan. Namun, indigo bukanlah sesuatu penyakit karena tidak termasuk dalam daftar penyakit sedunia yang dikeluarkan WHO.
Mereka, menurut dia, memiliki kekuatan spiritual yang tidak dimiliki semua orang. Meski demikian, anak indigo bisa sehat dan sakit, baik secara fisik maupun mental. Yang jelas, anak semacam ini memerlukan pendidikan khusus. "Semua tergantung interaksi dengan lingkungannya," katanya.
Menurut Erwin, anak indigo memiliki enam sifat. Pertama, tingkat kecerdasan superior. Tingkat IQ-nya di atas 120. "Sehingga mereka enggan mengikuti ritual yang tidak rasional dan tidak spiritual," jelas dokter yang sehari-hari bertugas di klinik RSPAD di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, itu.
Kedua, anak indigo dapat mengerjakan sesuatu tanpa diajarkan terlebih dahulu. Ketiga, dapat menangkap perasaan, kemauan, atau pikiran orang lain. Keempat, dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat dipersepsi oleh pancaindera di masa kini, masa lampau (post-cognition), dan masa depan (pre-cognition). Kelima, mengetahui keberadaan makhluk halus.
"Yang terakhir, anak indigo tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan alam dan kemanusiaan," kata alumnus FK Unair 1967 itu.
Untuk mengetahui seorang anak itu indigo atau tidak, lanjutnya, perlu dilakukan pemeriksaan. Salah satunya melalui foto aura. Caranya, lima jari anak yang diduga indigo dipasang sensor -semacam scanning- yang dihubungkan dengan komputer. Di komputer itulah akan tampak apakah auranya tergolong aktif atau tidak.
Jika tampilan cakra di dahi berwarna nila (indigo dalam bahasa Spanyol) dan kelihatan aktif (seperti bergerak-gerak) dan warna di sampingnya dominan nila, maka anak itu positif indigo. Cara lain untuk menentukan apakah seorang anak itu indigo adalah dengan melakukan wawancara psikologi terhadap si anak.
Baik Tasya maupun Ipang adalah dua anak yang dinyatakan positif indigo. Tasya dinyatakan sebagai indigo setelah diwawancarai seorang guru besar Fakultas Psikologi UI. Sedangkan Ipang dinyatakan positif setelah melewati metode foto aura seperti yang dipaparkan Dr Tubagus Erwin. (*)
Muza, out!
dikutip dari mukimuki.blog.friendster.com